Rabu, 19 September 2018

MENJADI GURU

Salam kenal para pembaca. sudah lama blog ini saya buat, tapi baru sekarang bisa meluangkan waktu untuk menulis. Jika menulis itu menyembuhkan, maka saya juga ingin sembuh dari luka - luka kecil di hati saya. Sehingga bisa menjadi pribadi yang ikhlas.
Oh ya, jangan berharap blog saya ini berisi RPP, silabus apalagi soal - soal ulangan ya. Terus terang saya bukan ahlinya. Blog ini hanya berisi tulisan ringan berkaitan dengan dunia saya sebagai pendidik a.k.a guru.
Baiklah, sebelum membuat tulisan lain saya mau cerita bagaimana saya akhirnya menjadi guru.
Awal diajak kuliah di keguruan itu saya nolak, gak mau jadi guru ah. Aku maunya jadi karyawan bank. Atau berkarir di kantor. Jadilah saya ambil jurusan matematika di FMIPA Unair. Waktu itu alasan saya hanya suka. Ketahuan banget saya berpikir pakai otak belahan mana. Enggak detail. Bersyukur akhirnya diterima, meski saya nggak pernah ikut bimbingan apa pun. Lulus dari sana, sejujurnya saya bingung. Mengingat kondisi bapak yang sudah sepuh sendirian. Ibu meninggal saat saya akan mengikuti KKN. Keputusan akhirnya, saya pulang kampung. Bisa dibayangkan ya, apa sih peluang pekerjaan di desa. Iya benar, akhirnya saya mengajar.
Debut saya mengajar pertama adalah di sebuah MI, kalau tidak salah ingat namanya Mambaul Huda. Untuk menuju ke sana saya harus jalan kaki 3 kilometeran melewati pematang sawah. Bertemu dengan murid - murid super di sana. Ada yang kelas 6 belum bisa baca tulis, yang jarang masuk sekolah dan banyak lagi. Salut untuk para guru yang bertahan di sana, meski gaji hanya cukup buat beli sabun. Beneran, gak nyampe cepek di tahun 2003 itu. PNS hanya 3 orang yang sudah sepuh juga. Belum setahun di sana, saya ditawari menjadi guru bantu depag waktu itu. Setelah mengikuti seleksi alhamdulillah lolos. Meskipun saya tidak tahu asal muasal saya bisa ikut seleksi guru bantu. Karena ternyata peserta adalah yang direkomendasikan Kepala Sekolah dan sudah mengajar di sekolah bersangkutan. Kondisi ini yang menimbulkan suasana tidak nyaman. Setelah menikah, saya resign tepatnya setelah cuti melahirkan anak pertama.
Menikmati peran baru, full di rumah mengurus anak dan suami. Setahun berikutnya anak kedua lahir. Semakin repot kan? Dua tahun berikutnya anak ketiga lahir. Dua kakaknya sudah sekolah di Play Group dan TK waktu itu. Karena di rumah ada ART, agak terbantu. Sehingga banyak waktu luang. Eh, seorang teman yang kebetulan kepala sekolah sebuah SD Islam menawari saya, mau nggak ngajar. Ijin suami, boleh. Tapi harus punya motor nih. Nggak bisa kan ngandelin suami, karena dia harus ngantor. Alhamdulillah di acc. Dan sampai sekarang masih bertahan
Udah ah, segitu dulu kenalannya. Lain kali saya mau cerita lika liku mengajar